Selamat datang di Kawasan Penyair Yogyakarta Terima kasih atas kunjungan Anda

Rabu, 29 Juni 2011

Jufri Zaituna


Jufri Zaituna, lahir di Sumenep, Madura, 15 Juli 1987. Puisi-puisinya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Koran Harian Jogja, Koran Merapi, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, Kuntum, Muara dan beberapa antologi bersama: Ya Sin (PBS, 2006), Merpati Jingga (PBS, 2007), Annuqayah dalam Puisi (BPA, 2009), Mazhab Kutub ( Pustaka Pujangga, 2010), kumpulan cerpen pilihan koran Munggu Pagi Tiga peluru (Trataq Media, 2010), Penganten Tamana Sare (Bawah Pohon, 2011), dan Antologi Puisi Suluk Mataram: 50 Penyair Membaca Yogya, (GREAT Publishing, 2012). Sekarang tinggal di Bantul, Yogyakarta.
No HP: 088216323119


Pagi Waktu Sore


jangan sekali-kali kau tanyakan pagi
sebab wajah bugar matahari tak pernah ku lihat
sebab aku baru gosok mata dan belum gosok gigi
gigiku masih malam, malamku selalu siang

pantaskah aku mengucapkan selamat pagi?
bila tak ada seorng pun yang mengajakku pulang

dalam kamar, dinding pengusir tangisan
kekaguman tersesat pada warna-warna cat tembok pudar
sepudar usia tumpah sepanjang ibadah yang kian rapuh
mata buta tak tau arah
jendela seolah jauh. kemana mesti mata berlabuh
tak ada suara, selain tetes air mata sendiri yang seolah menjadi kutuk
bagi kegilaan yang semakin jauh melangkah
menapaki ruang-ruang singgah

2010


Kabar Semalam Bagi Masa Silam


1.
semalam puisiku tak selesai-selesai mandi
tanpa sehelai makna terurai
kebeningan mata air hanya menghadirkan kekeruhan
dan lumut-lumut usia kian menjalar di bongkahan kepala
bertahun-tahun hanya menjadi tempat pencucian
bagi baju-baju hari yang selalu kotor
ibu-ibu mencuci kutang, perawan-perawan membasuh isi kutang
bapak-bapak mencuci celana dalam, remaja memandikan burung belukar

2.
semalam duka itu datang namun makna masih terpendam
sedalam derita menggali keriuhan tangis tak sampai-sampai
hati kian berdebar dalam kebisuan takdir
mengiris dada berkeping-keping
seperti petir panjang menyibak langit yang tak mau ada kehilanggan
usia menggugurkan putik-putik perasaan
menyulut semerbak impian
kegamangan jalan tak berujung
menyergap keinginan untuk segera sampai pada tujuan
namun selalu tertinggal
sebab letih dan pedih dalam remah-remah kisah
menyisakan peluh kesah bagi pertanyaan yang muncul:
apakah masa lalu masih menungguku?

2010

Reportase Kampung

1.
perermpuan-perempuan penunggu kaca
sapaannya penuh gairah
pakaian mencolok di tubuh padatnya
mencolok seperti tawanya menebar pesona
bibir bergincu mengalir senyum kurang ajar
membuah si gila makin gila

2.
rumah lelaki itu tampak sepi. seakan sayu menikam-nikam
hanya ujung atap dan tonggak bambu
yang tampak perempuan berjalan tergopoh-gopoh
menuju surau kecil, tempat lelaki itu duduk bersiul
mempermainkan burung perkututnya di dalam sangkar
tergantung di depan rumahnya yang samar
namun tak lama sunyi pecah oleh teriakan
seiring asap mengepul dari tubuh lelaki meraung dari kobaran

2010


Membaca Taman

ambillah duri-duri itu
lalu tusukkan atas nama mawar
agar semerbak kesakitan
kembali beraroma keabadian

lalu ceritakan padaku tentang kumbang
agar semua kemungkinan datang
mereguk dengung musim
mengitari kebimbangan

selagi taman tak lagi bermakna pertemuan
menerbangkan putik-putik kerinduan
dari sisa kata yang kian tumbuh menjalar
mengikat erat peristiwa lampau

sebab harapan kian layu
dihinggapi kupu-kupu
yang ingin menjadi kepompong
seiring lebah-lebah lupa sarang

2011


ALA ROA DAN DIRINYA

lembar demi lembar telah kau habiskan
untuk segera sampai di ujung penantian
sampai kau tak paham, bahwa gema kata
hanyalah ketukan keterasingan
dari ruang tubuh tersekap kebencian
juga getar rasa memabukkan kesendirian

segenggam debu kesakitan berhamburan
dari beratus-ratus jalan hati keraguan
mengancam pemburuan demi pemburuan
tiada akhir

berhembus dari arah ketidaksempurnaan
kata-kata merangkak mencari makna keabadian
dari patahan-patahan tawa berderak cepat
seperti kilat yang merobek mulut langit
seperti jalan kematian yang tak pernah kau temukan
selain kau terus memohon berjuta harapan
menjumpai keabadian yang lain

adakah kau masih berharap untuk terlahir kembali
seperti cahaya yang memancar dari rahim sepi
sebab makna kian tiada
untuk menampung kegelisahan berlumut biru
otak sekeras batu-batu

2011


Tarian Doa

sampai mulut berbusa dusta
tersumpal doa-dosa
jatuh terhempas menjadi humus
menjadi batu tua menganga

mengamini batas tangis
tandas ditelan kabut permintaan
derita semakin lengang
menjadi kitab-kitab persembahan

telah berulang kali membacanya
dengan kekhusyukan tiada tara
sampai menyeret pilu pintu tiada
sambil mendesah resah
sekujur tubuh basah firman setia

2011


Hujan Darah

ingatan ini masih basah
untuk mengenang tempat berteduh
ketika teriakan hujan darah
mengguyuri tanah merekah

lambaian dendam
menyibak wajah sumringah
kesedihan berceceran
sepanjang kepulangan

2011