Selamat datang di Kawasan Penyair Yogyakarta Terima kasih atas kunjungan Anda

Minggu, 14 Oktober 2007

Syaiful AMK



(Yogyakarta)

Lahir di Sumenep, Madura, 21 Mei 1983. Karyanya berupa cerpen, puisi dan esei telah dipubikasikan di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Kini dipercaya sebagai koordinator LinStrak (Lintas Studi Sastra Kontemporer) Yogyakarta, koordinator divisi sastra dan budaya di IRIes (The Institute for Rausanfikr Studies) Yogyakarta,. Dan tercatat mahasiswa teologi dan filsafat,UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Salah satu puisinya :

Rumahku Rahimmu

Ibu
Maafkanlah aku tak bisa pulang ke rumah
Rumah pertama yang memberikanku bahagia
Rumah pertama yang mengenalkanku asalmula
Rumahku rahimmu

Ibu
Rumah itu tak cukup lagi bagi duniaku
Tapi bukan tak cukup bagi hidupku
Kini terlalu bodoh untuk kembali
Tapi bukan terlalu bodoh untuk kuhayati
Rahimmu cahaya nurani

Ibu
Apakah engkau marah ?
Rumahku kini berwarna biru, kuning, hijau,coklat dan merah
Aku tahu rumah yang dulu tak berwarna
Karena itu dunia pertama

Ibu
Aku tak ingin pulang ke rumah
Aku ingin bermain lincah
Hingga aku punya rumah sendiri
Seperti rumah pertama kali

Ibu
Izinkanlah aku tak pulang ke rumah
Rahimmu kutahu tak abadi
Memancar arti untuk aku kembali suci

Yogya, 2005

Sedopati




(Yogyakarta)

Nama sebenarnya adalah Sukandar, lahir di Ngawi. Tertanggal 20 Ramadhan 1401 H. sekarang masih menempuh sekolah di jurusan Konservasi Sumberbudaya Hutan. Fak. Kehutanan UGM. Pernah numpang aktif di JS UGM, KMIK FKT UGM, BEM Fak. Kehutanan UGM, juga pernah sehari singgah di BEM KM UGM. Pernah terlibat di Komunitas Senthir Qalbu: jama’ah malem Jum’at (JMJ) FKT UGM, juga pernah nyantrik di HMI, di komunitas rebana mahasiswa ‘Nada Husada’ FKT UGM. Sekarang ini sebagai ketua Komunitas Puisi Pro jogyakarta (sebuah komunitas puisi radio di RRI jogyakarta). Berproses dengan komunitas puisi pro jogyakarta. Beberapa puisi pernah dimuat di jurnal sastra Belle HMI Cabang Sleman Jogyakarta, majalah Sabili, serta pernah dibedah dan dikritik dalam acara bincang-bincang sastra Studio Pertunujukan Sastra Jogyakarta oleh Iman Budi Santosa. Salah satu puisnya :



Di Punggung Merapi
: perempuan-perempuan merapi

Kau panggul di atas punggung seikat pada rumput
yang berlapis kabut. Perlahan kau turun menyibak
semak berjejak setapak. Tak ada tetes peluh
yang sempat jatuh, sepertinya ia langsung bersetubuh
dengan ruh. Juga tak ada keluh yang berani berlabuh

tampaknya iapun segan dengan langkah yang kukuh
Akar-akar di sekitar merapuh. Ayunan goyang ilalang
menghilang. Dan kabut tersaput waktu kau tengadahkan
wajah mencari di mana sang mentari sedang berjaga

Kaki terus kau ayun, melangkah bergegas turun
tak ingin kau terlambat mengusap wajah si bocah
yang sering gelisah sepulang sekolah. Juga tak hendak
kau dengar lenguh riuh sapi yang resah menanti

yk, oktober 2005

Triyugi Rizki Windarsi




(Yogyakarta)

Lahir di Pulau Bunyu, 17 Maret 1981. Asisten peneliti untuk penelitian beberapa dosen Sosiologi, Fisipol, UGM (2002-2003). Mengajar privat bahasa Inggris sejak Oktober 2003 sampai sekarang. Salah satu dari 10 pemenang hadiah hiburan melalui Karikata, Kompas Karikatur dan Karikatur Award, diselenggarakan oleh Kompas (Juni 2004). Salah satu dari pemenang 4 besar Yogyakarta (15 besar nasional), Perempuan Penulis Naskah Drama, diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan ISI Yogyakarta (Januari 2005). Artikel Pentingnya Kesadaran BBM, dengan tema Alternatif BBM, Rubrik Forum Akademia, Kompas edisi Yogyakarta (7 Oktober 2005). Salah satu puisinya :

Penjaga Kebun

Kami hanya penjaga kebun
Kebun yang pernah kami beli tiga puluh tahun yang lalu
Yang selalu kami usahakan pengelolaannya
Dari menanam sampai menyemprot hama
Yang setiap tahun buahnya kami jual

Kami ini hanya penjaga kebun
Yang tidak pernah percaya akan ilmu pasti
Hingga suatu saat kebun kami tak berbuah
Walau seperti biasa kami sirami
Pelajaran selalu datang kepada kami
Karena setelah berupaya, hanya menunggu yang kami mampu
Kemurahan dari pemilik kebun itu
Yang hanya berikan kami satu kesulitan di atas dua sembilan
kemudahan

Jadi, kami ini hanya penjaga kebun
Yang tetap akan menunggu
Sampai hari yang terbatas bagi napas

Sige Haryadi


(Yogyakarta)

Lahir di Jogyakarta, 15 Desember 1969. Menyelesaikan S1 di jurusan Arkeologi UGM. Penikmat sastra dan budaya, selain menulis juga menekuni fotografi, sekarang berdomisili di Jogyakarta. Salah satu puisinya :

Engkaukah Juliet * Itu?

Engkaukah itu?
saat senja gelap meracuni hutan kosong dan kupu-kupu bersayap
hitam terkapar di telaga
kering sunyi
jika ya,
berlarilah kau menjauh mencabik mimpi panjang mengusir angin ke
persembunyian
purba: ranting pepohonan rapuh
sebab ada masa ada kala duka tak tertepis angin
sebab ada masa ada kala angin terbius bisu

Engkaukah itu?
serigala terasing yang melolong di perbukitan sepi
tersisih dari perjalanan panjang tak kenal musim:
memang terkadang cinta tak mengenal jalan pulang
memang terkadang cinta tak akan beringsut dari rindu hampa
yang terombang-ambing
itulah persimpangan tempat kebingunagn menyatukan arah barat timur
utara selatan
jika ya,
bersampanlah menuju muara, singgah di delta, kemudian terbang bersama
bersama camar terbius
angin laut
(tapi engkaukah Juliet itu?)

Juliet*: terinspirasi dari cerita Romeo dan Juliet

Jogyakata, 2005

Saut Situmorang




(Yogyakarta)

Lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 29 Juni 1966. Pernah mengajar Bahasa Dan sastra di Victoria Univerity of Wellington dan University of Auckland di Selandia Baru. Karya-karyanya dan terjemahannya dipublikasikan di Indonesia, Selandia Baru, Australia dan Itali, antara lain, Anthology of New Zealand Haiku, Mutes & Easthquakes, Bali-The Morning After, Antologi Puisi Indonesia (1997), Antologi Puisi “Art and Peace “, Graffiti Gretitude, Graffiti Imaji, Dan Sastra for President, Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York, Saut Kecil Bicara Dengan Tuhan, Horison, di Webrite Sastra Cyberpunk (ia salah seorang redakturnya). Berkali-kali mendapat penghargaan antara lain, “Poetry Prize” dari Victoria University of Wellington (1992) dan University of Auckland (1997) di Selandia Baru. “Such Bonedom “nya pemenang lomba Haiku (1992) dikoleksi Museum Haiku Tokyo, Jepang. Selama di Selandia Baru dan Indoneia telah melahirkan karyanya : Tongwe in Your Ear, VolIV (kumpulan Puisi), Cyber Graffiti (kumpulan esei ),Tujuh Musim Setahun (novel), Jaln/Street Perpormance art Made Wianta dan Explorring Vacuum (kumpulan esei seni rupa). Salah satu puisinya :

Air, Air Di Mana Mana Cuma Airmata

tiba tiba saja langit roboh,

jadi laut, tumpah ke mana mana,
ke kota kota, ke kampung kampung
menghantam segalanya
memusnahkan segalanya –

hanya separoh memori,
ribuan kuburan tak bernisan,
lumpur amis asin di peta sobek tak terbaca,

yang ditinggalkannya.

Air, air di mana mana
tapi Cuma airmata...

kota dan kampung binasa
hanya berkubur lumpur
bernisan gelombang
batu batu karang duka maha duka
monumen khianat samudera yang tak setia.

Air, air di mana mana
tapi Cuma airmata...

ribuan mata yatim piatu,
setajam sembilu,
lebih lara dari zikir tasbih segala ulama,
lebih luka dari segala airmata doa,

menuntutMu,
ke manapun Kau berlalu!

Jogja, 3 Feb 2005

Raudal Tanjung Banua




(Yogyakarta)

Lahir di Desa Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, untuk akhirnya merantau ke Denpasar, Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi dan intens belajar pada penyair Umbu Landu Paranggi. Sejak tahun

1997 pindah ke Yogyakarta, menyelesaikan studinya di Jurusan Teater Yogyakarta. Karyanya yang berupa puisi, cerpen dan esei dipublikasikan di pelbagai media massa yang terbit di sejumlah di Indonesia, di samping terdapat dalam sejumlah antologi bersama maupun pemenang lomba. Bukunya yang sudah terbit Pulau Cinta di Peta Buta (kc, Jendela, 2003), Ziarah bagi yang Hidup (kc, Mahatari, 2004), Parang Tak Berulu (kc, Gramedia Pustaka Utama) dan Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka)-dua buku terakhir sama-sama masuk dalam final Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005 unt kategori prosa dan puisi. Tahun 2004 memperoleh penghargaan puisi terbaik Sih Award dari Jurnal Puisi dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison. Kini, ia mengelola Komunitas Rumahlebah Yogyakarta, AKAR Indonesia, dan jurnal Cerpen Indonesia. Salah satu puisinya :


Pulang Aku Ke Pantun Lama

Kelak, awan berarak dalam pantun lama
bukan pertanda air mata. Dan kau yang membaca
tidak lagi bernama si anak dagang
berdendang malang di kota malam.
Seorang penyair telah mengembalikannya
kepada hujan, pada hakikat pengembaraan....

Tak ada air mata. Tak ada dendang
pada lazimnya perpisahan. Hujan akan turun
dan penyair itu membayangkan basah jalan
dan kebun-kebun, mekar anggur dan semi daun
Petiklah! Ini daun duniamu juga, bunga, putik dan buah
dadamu juga. Lupakan kampung-halaman
serta kekasih yang menunggu, agar sempurna
kita pengembara; jauh dari ranah, ibu dan pantun lama:
awan berarak usah ditangisi!

Tapi, dihari yang murung, di perasaan asing terkurung
mengapa awan terasa lebih bermakna
ketimbang hujan yang menyamarkan air mata?
Lalu, apakah memang tak butuh umpama, tak perlu dendang
gurindam, dan pantun-pantun kasmaran
bagi si anak dagang terlanjur meratap enggan?
Penyair itu, aku, tiba-tiba bimbang kini menimbang
bahasa kasih dari ibu
tak pernah lekang!

Duh, ibu, bimbang aku, bimbing aku di jalan-jalan
kota jelatang, di kampung-kampung hangus
terbakar, asap yang membubung
bukan awan. Bukan pula hujan. Tapi api
yang menantang matahari. Maka aku tulis buah ratapan
tanpa bunga sampiran agar jerit si sakit malang
menjadi inti sel segala sesal—mekar dalam hujan

Tapi bertahun-tahun sudah kutulis bait sakit ini, ibu
bertahun-tahun pula api membakar
segenap catatan. Kota-kota penuh duri
asap terus menari. Matahari terbit juga
hujan pun turun. Mekar kebun di mana-mana
tapi bukan milik kami. Bukan milik kami
Bahkan jalanan basah ini menyerap bayangan kami
jadi pengembara kekal, tak pulang lagi. Lalu apa arti puisi ini
jika tak sanggup menampung dendang dinihari?

Maka dengan berlagu dendang kini
Aku menulis duri dan bara api dari asap yang menari
Terus menari, membubungkan kalimat dan bait-bait sajakku
ke langit tinggi—peraman anggur duka perantauan
Jadilah awan, jadilah hujan. Suburkan, gugurkan:
Buah-buah ratapan, bunga-bunga rindu
kampung-halaman, duri-duri randu dan tikar pandan
Pun tangisan, kalimat-kalimat tuhan, dalam dendang-riang
Si anak dagang tak merasa terbuang....

Rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004.

Nur Wahidah Idris



(Yogyakarta)

Lahir di Kampung Ketugtug, Loloan Timur, Negara, Bali, 28 April 1976. Sekarang studi di Jurusan Kriya Tekstil/Batik, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Aktif di AKAR Indonesia dan Komunitas Rumahlebah. Salah satu puisinya :

Tubuh Gaib
: olivia laurent

memahamimu
seperti memaknai gerhana
dimana wujud gelap tertangkap
tapi terlepas dari pandangan
dan kau dianggap tak ada

kalau kuberikan kau setangkai bunga
lalu terpegang durinya
apa beda jerit kita ?

mungkin setitik darah
sedetak waktu yang menyerap kepedihan
membuat tubuh kita tak lagi gaib
— kulahirkan seorang anak
kau lahirkan anak wujudmu sendiri

retakan perut dan keratan di dada
jadi garis nasib
membuat angin di raut tubuh
menolak cermin, merajam bayangan

tapi udara di ufuk angan
tak akan terhapus
segala yang tak diinginkan
dan dianggap tak ada
terbit dari mata anak-anak
yang menyusu

sawit-yogya, 2005

Novieta Dura




(Sleman)

Lahir di Samarinda pada 11 November 1981. Mahasiswa Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta dan sastra Indonesia Universitas Gagjah Mada. Aktif di Komunitas Lingkar Benih, sebuah komunitas pembuat media sastra BEN! . Buku yang sudah diterbitkan adalah kumpulan cerpen Gnomon (Orakel, 2005). Salah satu puisinya :

Rumah Malam

Semuanya berawal dari sarisari bunga
yang meresap pada tanah.

Lalu padanya diceritakan
tentang murammuram Rumah Malam
tentang putihputih Rumah Pagi
tentang isyarat belian
yang datang ke Tanjung dari Telaga Siong
yang katanya penyembuh dan pengetahu segala nasib

Berikutnya segalagala rahasia terbuka
tentang kawin lagi tiga kali
tentang perselingkuhan berkalikali
juga tentang pekarangan depan penyimpan mayat ibu

30 Nov ‘05

Katrin Bandel



(Yogyakarta)

Lahir di Wuppertal, Jerman. Menyelesaikan dokter dalam Sastra Indonesia pada tahun 2004 di Universitas Hamburg, Jerman, dengan topic “ Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia “. Puisi, Cerpen dan Esainya dimuat di Cyber Graffiti, Ini …. Sirkus Senyum, Graffiti Imaji, Dian Sastra For President, Batu Merayu Rembulan, Esei- Esei Bentara 2004, Sastra Pembebasan, Les Cyberletters, On/Off, Mejabudaya, Jurnal Cerpen Indonesia, Bentara, Kompas, Bernas, Minggu Pagi,dan di itu sastra Cyberpunk Indonesia w w w Cybersastar net. Buku kumpulan eseinya Sastra Perempuan, Seks akan diterbitkan penerbit Jalasutra Jogjakarta akhir 2005. Ia juga seorang pelukis dan pernh pameran-tunggal di via via cafĂ©’ Yogyakarta. Saat ini menetap di Yogyakarta dan menjadi dosen-tamu mata kuliah “Teori-Teori Budaya” dan “ Gender Studies “ di program magester Ilmu Religi dan Budaya, Universitas SanataDharma Yogyakarta. Salah satu puisinya :

Sebungkus Nasi Yang Sudah Dingin Dan Bau

Laki-lakiku tidur dengan tenang di rumah orang dan tidak menghiraukan suara HPnya yang terus-menerus berdering.
Laki-lakiku mabuk dan tidur di mana saja.

Laki-lakiku dikelilingi perempuan-perempuan malam.
Semua perempuan adalah perempuannya.

Laki-lakiku ingin pulang membawa nasi untukku. Tapi perempuan-perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. Kau mau ke mana, kau tak punya istri, kami istri-istrimu. Salah satu dari mereka merebut bungkus nasi itu, membukanya, lalu mulai memakannya.

Itu nasiku, perempuan celaka!

Perempuan malam yang sedang makan nasi yang dibelikan laki-lakiku untukku itu disambar petir, nasinya jatuh ke tanah, berceceran, lalu dimakan anjing.

Dengan nasi yang sudah dimakan anjing di kantongnya laki-lakiku ketiduran di rumah orang. Dia tidak mendengar suara HPnya yang terus-menerus berdering karena suara dengkurnya sendiri jauh lebih keras daripada suara HP itu. Dan nasi di kantongnya sudah dingin dan bau.

Perempuan-perempuan yang kawannya disambar petir tadi itu menjadi marah, tidak terima. Mereka melaporkan kejadian itu pada preman-preman kampung, suami-suami mereka. Preman-preman kampung suami-suami perempuan-perempuan malam yang kawannya disambar petir tadi itu mengejar laki-lakiku
dengan sepeda motor-sepeda motor mereka. Laki-lakiku melarikan bebek saktinya selincah kilat, tetapi akhirnya kalah oleh sepeda motor-sepeda motor mereka yang lebih cepat dan besar.

Laki-lakiku tergeletak mati di tengah jalan dengan HP terus-menerus berdering di kantongnya, dan nasi yang sudah dingin dan bau di kantong lainnya.

Ambulans datang menjemput laki-lakiku yang sedang tidur dengan tenang di rumah orang.

Di rumah sakit seorang perawat cantik dengan senyum yang menggoda menutup HP yang terus-menerus berdering itu dengan bantal biar tak mengganggu.

Dan anjing yang memakan nasiku itu sudah disembelih dan dijadikan sangsang.

Jogja, 9 Desember 2002

Handoyo Wibowo


(Oei Tjhian Hwat)
(Yogyakarta)
Lahir di Yogyakarta, 10 Februari 1952.Penyair yang berlatar belakang Fakultas Teknik Kimia Universitas Gajahmada ini mendapat julukan Penyair Malioboro Sajak dan geguritannya dipublikasikan di pelbagai media massa. Antologi sajak dan geguritannya yang pertama Nurani Peduli, diterbitkan Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ) Yogyakarta. Serta tergabung dalam antologi bersama penyair lain Yogyakarta daam Sajak (KSI,2002). Beberapa kali tampil membacakan karyanya di berbagai lembaga kebudayaan di Jakarta, Kudus, Yogyakarta dan kota lainnya. Karya-karyanya juga dibahas dalam pelbagai media cetak . selain itu dimusikalisasikan di beberapa radio Yogyakarta dan Jawa Tengah. Serta dipilih sebagai naskah lomba baca puisi. Dalam berkarya iameyakini tak mungkin tak lepas dari kemurahannya. Karya dari penyair mustahil terjelma tanpa kesinambungan dari sang pencipta. Selain menulis sajak dan geguretan, ia juga melengkapi dengan koleksi pohon langka dan renovasi beberapa motor antik khusus eks Jepang. Saat ini kesibukanya mengelola toko Dynasty Fashion di Yogyakarta. Salah satu puisinya :

Rindu

( rindangnya syahdu )

benarkah bertemu menetralkan rindu
yang selama ini senantiasa mengganggu

dimana telah lama menggeliat indah dikalbu
ber asa agar selalu hangat bersua tiada berlalu

sampai malupun terselimut kangen menggebu
walau semalam sudah memetik nuansa semu

y o g y a k a r t a
13 desember 2005

Akhmad Muhaimin Azeet



(Sleman - Yogyakarta)

Lahir di Sumberwinong, Banjardowo, Jombang, Jawa Timur, 2 Februari 1973. Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisi-puisinya banyak dimuat di media cetak daerah dan nasional. Beberapa puisi terangkum dalam antologi puisi Tamansari (1998), Embun Tajali – bersama beberapa penyair dari Singapura (2000), Lirik Lereng Merapi (2001), Filantropi (2002), Malam Bulan (2002), Sajadah Kata - bersama Taufik Ismail dkk. (2002). Juga menulis cerpen, esei budaya, naskah drama dan menyutradarai beberapa pementasan teater. Kini bekerja sebagai editor sastra pada sebuah penerbitan di Yogyakarta. Salah satu puisinya :


Selamat Jalan, Anakku
--Zuhrotul Aziza Ahmadia

“Sesungguhnya kami adalah milik Allah
dan kepada-Nya-lah kami kembali

terasa baru kemarin engkau hadir, anakku
menjadikan sepanjang siang dan malam
adalah perjalanan waktu yang penuh bunga
semua bahagia, ayah ibumu memeluk permata

menjelang engkau hadir, putriku
setelah empat tahun orangtuamu menunggu
betapa debur syukur tiada hingga terpanjatkan
semua karena kehadiranmu, kehadiranmu

tetapi kini setelah lima bulan bersama, anakku
di akhir malam engkau pergi untuk selamanya
betapa seluruh ruang dada ini sesak dengan duka
betapa seluruh lorong jiwa ini banjir air mata

dan, betapa gemetar bibir ayah dan ibumu ini
mengucapkan selamat jalan, selamat jalan
duhai putriku Aziza yang amat tersayang
kembali ke Pangkuan Sang Maha Penyayang

Yogyakarta, 2005

Agus Manaji




(Yogyakarta)

Lahir 16 Maret 1979. Seorang lulusan F MIPA UGM jurusan Fisika. Puisi-puisinya disiarkan di berbagai media massa antara lain : Jurnal Puisi, Tabloid SPICE, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Sabili, Galeri Puisi, Majalah Puisi Internet dan lain-lain. Tahun 2004, Horison memuat 12 puisinya kemudian tahun 2005 memuat 3 puisinya. Antologinya di antaranya Antologi Filantropi (2001), antologi Dian Sastro For President #2 (2003). Banyak puisinya di bacakan di RRI 2 Yogyakarta. Pada 24 Maret 2005, satu puisinya terpilih sebagai puisi terbaik dalam Lomba Menulis dan Membaca Puisi dalam acara Puisi Pro 2 Fm RRI Yogyakarta. Tahun 1997 pemenang Hiburan dalam Sayembara Penulisan Puisi Remaja Naional. 1998, cerpennya Hujan Tetap Hujan terpilih juara Harapan I Cipta cerpen Islami UKI F MIFA UGM. 1999, terpilih salah seorang Penyair Berbakat Bulan Budaya Partai Keadilan DIY. 2001, juara I Lomba Cipta Puisi Mahasiswa se-DIY oleh Teater Tangga dalam rangka Milad XX Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Salah satu puisinya :


Kasidah Akar

Merambati gelap dan basah hujan
Telah kutinggalkan benderang dan tawa itu
Di udara

Aku menari di sajadah paling sunyi
Meningkahi bongkah batu, tanah
Dan larik-larik fondasi. Kedalaman
Gelap dan rindu mengajariku ketabahan
Juga keikhlasan, hingga mesra
Kupeluk siang dan malam

Aku telah jatuh cinta
Mengembara dan mengisap lezat sisa-sisa
Yang diabaikan keriangan manusia. Kucium
Wajah bumi yang kelam dan bau. Namun
Kucintai pula langit yang gemawan
Sebab kuterima kasihnya lewat rinai hujan

Dan selalu kutitipkan pada bunga untuknya
Sesimpul senyuman.

2004

ajak ini pernah dimuat Majalah HORISON edisi Agustus 2005