Selamat datang di Kawasan Penyair Yogyakarta Terima kasih atas kunjungan Anda

Minggu, 14 Oktober 2007

Raudal Tanjung Banua




(Yogyakarta)

Lahir di Desa Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, untuk akhirnya merantau ke Denpasar, Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi dan intens belajar pada penyair Umbu Landu Paranggi. Sejak tahun

1997 pindah ke Yogyakarta, menyelesaikan studinya di Jurusan Teater Yogyakarta. Karyanya yang berupa puisi, cerpen dan esei dipublikasikan di pelbagai media massa yang terbit di sejumlah di Indonesia, di samping terdapat dalam sejumlah antologi bersama maupun pemenang lomba. Bukunya yang sudah terbit Pulau Cinta di Peta Buta (kc, Jendela, 2003), Ziarah bagi yang Hidup (kc, Mahatari, 2004), Parang Tak Berulu (kc, Gramedia Pustaka Utama) dan Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka)-dua buku terakhir sama-sama masuk dalam final Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005 unt kategori prosa dan puisi. Tahun 2004 memperoleh penghargaan puisi terbaik Sih Award dari Jurnal Puisi dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison. Kini, ia mengelola Komunitas Rumahlebah Yogyakarta, AKAR Indonesia, dan jurnal Cerpen Indonesia. Salah satu puisinya :


Pulang Aku Ke Pantun Lama

Kelak, awan berarak dalam pantun lama
bukan pertanda air mata. Dan kau yang membaca
tidak lagi bernama si anak dagang
berdendang malang di kota malam.
Seorang penyair telah mengembalikannya
kepada hujan, pada hakikat pengembaraan....

Tak ada air mata. Tak ada dendang
pada lazimnya perpisahan. Hujan akan turun
dan penyair itu membayangkan basah jalan
dan kebun-kebun, mekar anggur dan semi daun
Petiklah! Ini daun duniamu juga, bunga, putik dan buah
dadamu juga. Lupakan kampung-halaman
serta kekasih yang menunggu, agar sempurna
kita pengembara; jauh dari ranah, ibu dan pantun lama:
awan berarak usah ditangisi!

Tapi, dihari yang murung, di perasaan asing terkurung
mengapa awan terasa lebih bermakna
ketimbang hujan yang menyamarkan air mata?
Lalu, apakah memang tak butuh umpama, tak perlu dendang
gurindam, dan pantun-pantun kasmaran
bagi si anak dagang terlanjur meratap enggan?
Penyair itu, aku, tiba-tiba bimbang kini menimbang
bahasa kasih dari ibu
tak pernah lekang!

Duh, ibu, bimbang aku, bimbing aku di jalan-jalan
kota jelatang, di kampung-kampung hangus
terbakar, asap yang membubung
bukan awan. Bukan pula hujan. Tapi api
yang menantang matahari. Maka aku tulis buah ratapan
tanpa bunga sampiran agar jerit si sakit malang
menjadi inti sel segala sesal—mekar dalam hujan

Tapi bertahun-tahun sudah kutulis bait sakit ini, ibu
bertahun-tahun pula api membakar
segenap catatan. Kota-kota penuh duri
asap terus menari. Matahari terbit juga
hujan pun turun. Mekar kebun di mana-mana
tapi bukan milik kami. Bukan milik kami
Bahkan jalanan basah ini menyerap bayangan kami
jadi pengembara kekal, tak pulang lagi. Lalu apa arti puisi ini
jika tak sanggup menampung dendang dinihari?

Maka dengan berlagu dendang kini
Aku menulis duri dan bara api dari asap yang menari
Terus menari, membubungkan kalimat dan bait-bait sajakku
ke langit tinggi—peraman anggur duka perantauan
Jadilah awan, jadilah hujan. Suburkan, gugurkan:
Buah-buah ratapan, bunga-bunga rindu
kampung-halaman, duri-duri randu dan tikar pandan
Pun tangisan, kalimat-kalimat tuhan, dalam dendang-riang
Si anak dagang tak merasa terbuang....

Rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004.

Tidak ada komentar: